Alice in Wonderland is an upcoming fantasy-adventure film directed by Tim Burton. It is an extension to the Lewis Carroll novels Alice’s Adventures in Wonderland and Through the Looking-Glass. The film will use a [...]

Jennifer’s Body is a 2009 black comedy horror film written by Diablo Cody and directed by Karyn Kusama. The film stars Megan Fox, Amanda Seyfried, Adam Brody and Johnny Simmons and portrays a newly [...]

Sherlock Holmes is a 2009 film adaptation of Arthur Conan Doyle’s fictional character of the same name. The film was directed by Guy Ritchie and produced by Joel Silver, Lionel Wigram, Susan [...]

The Imaginarium of Doctor Parnassus is a 2009 fantasy film directed by Terry Gilliam and written by Gilliam and Charles McKeown. The film follows the leader of a travelling theatre troupe who, having made a deal [...]

Alice in Wonderland Movie Poster Megan Fox in Jennifer’s Body Sherlock Holmes Nominated for Golden Globe The Imaginarium of Doctor Parnassus

My Action

成功を期待!Seikō o kitai!
Tampilkan postingan dengan label 7. People. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 7. People. Tampilkan semua postingan

Karyawan pertanian organik: profesi baru

Senin 19 Juli 2010

Image Dengan pembangunan pertanian, menciptakan lapangan kerja baru. Begitu pula dengan pertanian organik. Hal ini dalam bentuk manajemen permintaan tenaga kerja manual adalah pengalaman, di samping itu, karyawan harus memiliki paling profesional yang luas.
Dan sehingga pekerjaan baru akan meningkatkan permintaan bagi pemasar produk organik, spesialis dalam produksi tanaman organik, menyadari metode ekologi pemupukan, perlindungan tanaman organik, sistem tumbuh organik.

Ekologi Peternakan membutuhkan pengetahuan khusus dokter hewan, pengetahuan tentang pengobatan dengan herbal, dopierania pakan organik yang cukup, perawatan untuk kesehatan dan kesejahteraan. Hal ini juga transportasi yang tepat penting dari hewan, mengurangi stres dan penderitaan.

Pertanian organik juga memberikan banyak peluang bagi para profesional di bidang perbankan, pemasaran, konsultasi keuangan, penasihat, logistik, konstruksi, pedesaan, wisata pedesaan.

Source : http://rolnicy.com/id/ekologia/pracownik-gospodarstwa-ekologicznego:-nowy-zawod-2010.html

Teknisi umumnya adalah seseorang yang menguasai bidang teknologi tertentu yang lebih banyak memahami teori bidang tersebut, seperti insinyur. Umumnya mereka lebih menguasai teknik dibandingkan layperson rata-rata, atau malah profesional dalam bidang itu. Pemahaman tingkat menengah atas teori dan teknik tingkat tinggi umumnya dikuasai oleh teknisi untuk menjadi ahli dalam hal peralatan tertentu. Ini bisa menjadi bagian proses (manufaktur) yang lebih besar. Karena itu, teknisi audio, bila tak seterlatih di bidang akustik sebagai fisikawan maupun teknisi akustik, umumnya tau lebih banyak daripada personel studio lainnya, termasuk pelakon, dan bisa mengoperasikan peralatan suara dengan lebih baik. Teknisi bila dikelompokkan sebagai pekerja terlatih maupun pekerja setengah terlatih.
Teknisi bisa ditemukan di sejumlah bidang, dan biasanya memiliki gelar pekerjaan dengan predikat 'teknisi' menyusul kategori kerja yang lebih cocok. Kemudian, 'teknisi panggung' adalah pekerja yang menyediakan dukungan teknis menaruh lakon, sedangkan 'teknisi medis' adalah pekerja yang menyediakan bantuan teknis dalam bidang industri kedokteran maupun profesi medis.
Source :  http://id.wikipedia.org/wiki/Teknisi

GAYA KEPEMIMPINAN DAN PRODUKTIVITAS KERJA

Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya (ILO, 1979). Greenberg yang dikutip oleh Sinungan (1985) mengartikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.
Pentingnya produktivitas kerja mencakup banyak hal, dimulai dari produktivitas tenaga kerja, produktivitas organisasi, produktivitas modal, produktivitas pemasaran, produktivitas produksi, produktivitas keuangan dan produktivitas produk. Pada tahap awal revolusi industri di negara-negara Eropah, perhatian lebih banyak tertuju pada bidang produktivitas tenaga kerja, produktivitas produksi dan produktivitas pemasaran. Sedangkan di negara Jepang, perhatian peningkatan produktivitas tertuju pada produktivitas tenaga kerja dan produktivitas organisasi, sehingga keharmonisan kepentingan buruh dan majikan dipelihara dengan baik.
Riggs (dalam Prisma. 1986:5) menyatakan ada 3 tahapan penting yang perlu ditempuh untuk mensukseskan gerakan produktivitas, yaitu dengan ringkasan A-I-M (Awareness, Improvement, dan Maintanence). Indonesia, pada saat ini masih pada tahap Awareness, belum mencapai Inprovement dan Maintanance. Untuk sampai pada tahap Improvement dan Maintanance banyak cara yang ditempuh, diantaranya dengan meningkatkan produktivitas total, yang terdiri dari (a). Tingkat ekonomi makro; (b). Tingkat sektor lapangan usaha; (c). Tingkat unit organisasi secara individual dan; (d). Tingkat manusia secara individual. Simanjuntak (1983) menyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari individu itu sendiri, lingkungan sosial pekerjaan, dan faktor yang berhubungan dengan kondisi pekerjaan. Batu Bara (1989) menyatakan bahwa produktivitas itu dipengaruhi oleh motivasi dan atos kerja, Keterampilan dan kualitas tenaga kerja, pengupahan dan jaminan sosial.
Sedangkan kepemimpinana memainkan peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping memerlukan sarana dan prasarana lainnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan organisasional.
Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner” (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan). Dari defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa kepemimplnan adalah merupakan proses mempengaruhi atau menggerakkan bawahan (followers) agar mau melaksanakan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa “Leadership is getting things done by the others”.
Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah memiliki kriteria-kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal, energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi, nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan/pegawai. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja. Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya Kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional.
Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat ini.
Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.
Selanjutnya, yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan. Sedangkan gaya delegasi adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan/pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan meningkat.
Selain itu ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard. (dalam Erika revida)
1. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:
1). Bidang pengaruh pimpinan (pemimpin lebih menggunakan otoritas)
2). Bidang pengaruh kebebasan bawahan. (Pemimpin lebih menekankan gaya demokratis)
2. Gaya Managerial Grid
Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers).
Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut,
a. Grid 1 manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai. sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang-orang (followers) di dalam organisasinya. Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari atasan kepada bawahannya.
b.Grid 2 manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat dikatakan sebagai “manajer tim” yang riel (The real team manajer) karena ia mampu menyatukan antara kebutuhan-kebutuhan produksi dan kebutuhan orang-orang secara individu.
c. Grid 3 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang-orang dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah. Manajer seperti ini disebut sebagai “pemimpin club”. Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat, tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.
d.Grid 4. adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis (autrocratic task managers), karena manejer seperti ini lebih menekankan produksi yang harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.
Pemimpin yang baik adalah lebih memperhatikan terhadap produksi yang akan dicapai maupun terhadap orang-orang. Grid seperti ini berusaha menyeimbangkan produksi yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang-orang, dalam arti tidak terlalu menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai, tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang.
3. Tiga Dimensi dari Reddin
Menurut Reddin, ada jenis gaya yang barus diperhatikan yaitu gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya kepemimpinan dari Reddin ini tidak terpengaruh kepada lingkungan sakitarnya.
Gaya yang efektif terdiri atas empat jenis, yaitu :
a. Eksekutif. Gaya ini mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja. Manajer seperti ini berfungsi sebagai motivator yang baik dan mau menetapkan produktivitas yang tinggi.
b. Pencinta Pengembangan (Developer). Pada gaya ini lebih mempunyai perhatian yang penuh terhadap hubungan kerja, sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas pekerjaan adalah minim.
c. Otokratis yang baik. Gaya kepemimpinan ini menekankan perhatian yang maksimum terhadap pekerjaan (tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang minimum sekali, tetapi tetap berusaha agar menjaga perasaan bawahannya.
Gaya yang tidak efektif adalah sebagai berikut :
1). Pencinta Kompromi (Compromiser).
Gaya Kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan hubungan kerja berdasarkan situasi yang kompromi.
2). Missionari
Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dalam arti memberikan perhatian yang besar dan maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.
3). Otokrat
Pemimpin tipe seperti ini memberikan perhatian yang banyak terhadap tugas dan sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.
4). Lari dari tugas (Deserter)
Manajer yang memiliki gaya kepemipinan seperti ini sama sekali tidak memberikan perhatian, baik kepada tugas maupun hubung kerja.
4. Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpin situasional mencoba mengkombinasikan proses kepemimpinan dengan situasi dan kondisi yang ada. Gaya ini diketengahkan oleh Hersey dan Blancard yang amat menarik untuk dipelajari.
Menurut gaya kepemimpinan situasional, ada tiga hal yang saling berhubungan yaitu:
a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan.
b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.
c) Tingkat kematangan dan kesiapan para pengikut yang di tunjukkan dalam melaksanakan tugas kasus, fungsi atau tujuan tertentu.
Pada dasarnya, konsepsi gaya kepemimpinan situasional menekankan kepada perilaku pimpinan dengan bawahan (followers) saja, yang dihubungkan dengan tingkat kematangan dan kesiapan bawahannya. Kematangan (maturity) dalam hal ini diartikan sebagai kemauan dan kemampuan dari bawahan (followers) untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilaku sendiri.
Menurut Hersey dan Blancard penemunya (1979) ada empat jenis tingkat kematangan bawahan (followers) yaitu :
a. Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin (M1).
b. Orang yang tidak mampu tetapi mau (M2).
c. Orang yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin (M3).
d. Orang yang mampu dan mau atau yakin (M4).
Gaya kepemimpinan “Partisipasi” adalah gaya yang sesuai untuk tingkat kematangan Mampu akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab (M3)/tugas, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.
Selanjutnya, untuk tingkat kematangan yang mampu dan mau/yakin (M4), maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya “Delegasi”, karena orang/bawahan seperti ini adalah mampu melaksanakan tugas dan mau/yakin. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, Kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

Source : http://cokroaminoto.wordpress.com/2008/04/18/gaya-kepemimpinan-dan-produktivitas-kerja/

Tugas Struktural & Kultural
Tradisi yang umum berlaku di tempat kerja kerap kali mewajibkan kita untuk menjadi pengembang (developing others). Jika tugas ini tidak diberikan secara struktural, ia diberikan secara kultural. Pokoknya, semakin lama kita bekerja di suatu tempat, secara otomatis kita pasti punya tanggung jawab sebagai pengembang. Lebih-lebih jika jabatan kita naik, misalnya dari staff biasa ke supervisor lalu ke manajer.
Sebuah lembaga konsultan ternama di Jakarta mencoba mengkelompokkan sejumlah kemampuan (kompetensi) yang perlu dimiliki oleh seorang pekerja, dari mulai level bawahan (kayawan biasa) sampai ke level atasan (supervisor dan manajerial). Hasilnya bisa Anda lihat di bawah ini:
Kompetensi Tingkat Karyawan
(Bawahan)
Kompetensi Tingkat Atasan
(Supervisor & Manajer)
Mencari informasi & belajar
Fleksibilitas
Fleksibilitas
Skill  manajerial, profesional dan teknikal
Pelayanan pelanggan
Perhatian terhadap tugas
Teamwork
Interpersonal
Motivasi yang bagus
Teamwork
Membangun relasi
Mengembangkan orang lain
Mengontrol emosi (self-control)
Komitmen organisasi
Jika disimpulkan, tugas kita pertama kali adalah mengembangkan diri sendiri dengan fasilitas dan resource yang bisa kita gunakan. Setelah hasilnya terbukti, barulah kita punya tugas untuk mengembangkan orang lain. Jika kita kurang bagus menjalankan tugas yang pertama, akibatnya kita pun tidak bisa menjalankan tugas kedua dengan bagus. Memang, pengembangan orang lain itu ada ruang lingkupnya, tergantung kemampuan. Ada yang hanya bisa mengembangkan untuk sedikit orang (individu) dan ada yang sudah sanggup mengembangkan banyak orang (kelompok).
Dalam konsep pengembangan kompetensi, mengembangkan orang lain itu termasuk kompetensi. Dikatakan kompetensi, berarti bukan watak bawaan, melainkan sebuah kualitas di dalam diri yang baru sebagai hasil dari bentukan atau usaha. Artinya, tidak terlalu tepat kalau jabatan kita naik atau peranan kita mulai diakui, namun kita berkesimpulan tidak punya bakat atau bawaan untuk mengembangkan orang lain. Punya atau tidak punya, ini perlu kita lakukan dan perlu kita pelajari.
Secara kompetensi ditemukan ada beberapa ciri khas yang menandai apakah seseorang itu punya kompetensi bagus di sini atau tidak. Sebagai acuan, Anda bisa melihat seperti apa ciri-ciri orang yang punya kompetensi bagus di sini di bawah ini:
  1. Mengekspresikan harapan positif atas orang-orang yang dikembangkan
  2. Punya model keyakinan dan penilaian bahwa orang-orang yang dikembangkannya memiliki motivasi dan kemauan untuk belajar
  3. Memberikan arahan atau mendemontrasikan alasan-alasan rasional sebagai strategi pengembangan
  4. Memberikan feedback negatif hanya pada tindakan, bukan pada orangnya, lalu memberikan arahan untuk menampilkan kinerja yang lebih bagus di masa mendatang (koreksi dan improvisasi)
  5. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan atau training berdasarkan penilaian yang akurat untuk mewujudkan proses pengembangan yang lebih klop antara kebutuhan, kemampuan, dan keadaan
Sebaliknya, seseorang yang belum bagus kompetensinya di sini mungkin akan lebih sering mengekspresikan harapan negatif (misalnya pesimis tarhadap perkembangan orang lain), suka bikin kesimpulan yang mematikan atau selalu menuding 'muridnya' sebagai sumber masalah, atau kurang peduli apakah metode dan materinya cocok atau tidak. Mungkin sering juga ngambek sama orangnya dan tidak memberikan pengarahan untuk bisa lebih baik.
"Yang kurang dari manusia itu bukan kapasitasnya, melainkan bimbingannya"
(Jim Rohn)

Hukuman Dalam Pengembangan

Apa hubungan antara pengembangan dan hukuman? Pengembangan di dunia kerja itu bermacam-macam: ada yang untuk mengembangkan kapasitas mental, moral, dan keahlian kerja. Secara suara hati, semua orang sebetulnya sangat senang mendapatkan sentuhan-sentuhan pengembangan dari orang lain (atasannya). Tetapi, karena di dalam diri setiap orang itu ada nafsunya, kepentingan-pribadinya, dan level kesadaran yang tidak sama, makanya mungkin saja proses pengembangan itu tidak terjadi seperti yang diharapkan. Bisa juga penyimpangan itu muncul dari si pengembangnya.
Ketika penyimpangan itu muncul, ada sebagian orang yang senang melirik cara pengembangan dengan memberikan hukuman. Dari yang umum diterapkan di dunia kerja, hukumannya itu ada yang administratif dan ada yang mental. Contoh hukuman adminsitratif itu misalnya pemotongan gaji, pembatalan kenaikan jabatan, dan sampai pemecatan. Sedangkan hukuman mental itu banyak macamnya, misalnya saja: de-jobbing, distrust, penugasan yang berlebihan, dan lain-lain.
Kalau kita lihat ke prakteknya, hukum-menghukum di dunia kerja itu relatif kurang menonjol dibanding dengan misalnya di dunia pendidikan atau keluarga. Ini karena di setiap kantor itu sudah punya peraturan tak tertulis yang kira-kira bunyinya adalah: "Anak-anak tidak boleh bekerja di kantor". Kenapa relevansinya ke anak-anak? Oh ya. Secara kesadaran, hukuman itu hanya pas diberlakukan kepada orang yang motif kesadarannya masih didominasi oleh ancaman faktor eksternal.
Jika kita hari ini sedang diberi tanggung jawab untuk mengembangkan bawahan, sah-sah saja hukuman itu kita terapkan sejauh memang ada alasan yang cukup kuat. Cuma, apapun alasannya, hukuman itu harus kita pahami bukan sebagai tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Jadi, kita perlu menghindari keinginan menghukum, tetapi tujuannya hanya untuk menghukum (sebagai balas dendan, sentimen pribadi, pelampiasan kejengkelan, dst). Karena itu, sebelum hukuman itu diberlakukan, tujuannya harus kita clear-kan dulu. Setelah tujuan clear, barulah kita bisa berpikir apakah cara demikian ini cocok atau tidak. Sekedar sebagai acuan untuk meng-clear-kan tujuan itu, kita bisa mengacu ke pilihan-pilihan di bawah ini:
  • Hukuman untuk memenuhi standar / target
  • Hukuman untuk menaikkan kesadaran moral atau mental
  • Hukuman untuk meluruskan penyimpangan
  • Hukuman untuk menghentikan pelanggaran
  • Hukuman untuk melakukan perbaikan
  • Hukuman untuk melakukan pencegahan
  • Hukuman untuk memberikan pelajaran bagi orang lain
  • Dan lain-lain
Intinya, tujuan itu bisa berupa set of conduct (seperangkat tindakan perbaikan yang harus dilakukan) atau set of result (seperangkat target atau sasaran yang harus dihasilkan). Idealnya, tujuan itu perlu kita desain supaya lebih spesifik dalam arti jelas sasarannya. Kemudian juga perlu diusahakan rasional dalam arti bisa dijalankan, dan membawa perbaikan, entah itu untuk jangka pendek atau jangka panjang, entah itu untuk dirinya saja atau untuk dirinya dan orang banyak.
Dalam beberapa kasus yang kerap muncul di lapangan, ada sebagian orang yang menggunakan teknik de-jobbing untuk menghukum. Misalnya saja kita membiarkan si A itu masuk kerja biasa, tetap menerima gaji bulanan dan hak-haknya sebagai karyawan, tetapi kita tidak memberikan pekerjaan, bimbingan, teguran, atau tugas yang semestinya. Sebagian orang merasakan ini termasuk hukuman mental yang berat, tetapi ada juga yang tidak merasakan seperti itu.
Efektifkan de-jobbing yang kita praktekkan seperti itu? Ini tergantung. Tetapi, secara akal-dasar, praktek demikian telah merugikan organisasi karena harus tetap mengeluarkan cost. Kemudian, jika orangnya tidak bisa menangkap tujuannya, ini juga akan menjadi problem tersendiri. Si orang itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang hindari. Dipikir-pikir kita sendiri juga rugi. Kenapa? Karena dengan menerapkan cara seperti itu, kita menyembunyikan catatan hitam tentang seseorang. Secara perasaan, ini bisa membuat kita tidak bisa "flow". Karena itu ada yang mengatakan bahwa teknik semacam itu kurang 'gentle'. Lain soal kalau tujuannya sudah dipahami dan itu kita terapkan untuk masa tertentu, untuk menguji efek tertentu, dan kita tidak terbawa larut / tetap bisa objektif.
"Punish the response, not the people.
People are rewarded and responses are reinforced"
(Psychology & Life, 1979)

Panduan Umum Dalam Menerapkan Hukuman
Kalau membaca nasehat beberapa ahli, di bawah ini adalah sebagian dari sekian panduan yang bisa kita ikuti:
Pertama, sesuaikan dengan orangnya. Ada orang yang cocoknya memang perlu dihukum dengan tegas dan keras tetapi ada yang tidak. Kitalah yang perlu tahu siapa dia. Bahkan terkadang perlu melihat kondisinya saat itu juga. Bisa dibayangkan kalau ada seseorang yang sedang stress berat memikirkan masalah keluarganya, tetapi di kantor dia mendapatkan hukuman yang berat. Kalau dia agresif, dia akan melawan atau temparemennya muncul. Sebaliknya, kalau dia pasif, dia akan down.
Kedua, sesuaikan dengan bobot kesalahanya. "Jangan mengusir lalat dengan pistol". Ini filosofi dasarnya. Artinya adalah, jangan memberi hukuman berat untuk masalah kecil. Sebaliknya juga begitu. Jangan memberi hukuman kecil untuk masalah besar. Intinya perlu diproporsionalkan. Yang perlu kita hindari adalah pilih kasih untuk alasan-alasan yang sangat subyektif. Misalnya saja kita tidak menghukum seseorang yang mestinya pantas dihukum atau memberi hukuman ke orang yang belum pantas diberi hukuman seberat itu. Ini bisa menimbulkan demotivasi kerja atau menurunkan loyalitas orang-orang yang loyal.
Ketiga, spesifikkan. Ini untuk menghindari subyektivitas pribadi atau sentimen. Beri hukuman yang spesifik untuk respon atau tindakan yang spesifik dan dalam waktu yang spesifik. Lain soal kalau kasusnya atau kesalahannya sudah tidak bisa ditolerir lagi berdasarkan nilai-nilai yang dianut organisasi. Penjelasan soal waktu tidak diperlukan lagi. Manfaatnya adalah, jika hukuman itu clear sebab-sebabnya, kapannya, dan bentuknya, maka ini memudahkan orang lain untuk menjadikannya sebagai pedoman. Ini juga bisa memudahkan kita. Dengan standar yang jelas, pengawasan bisa kita delegasikan. Tapi kalau standarnya itu mood sesaat, kita harus menjadi polisi setiap saat.
Keempat, ikuti dengan penjelasan. Memberi penjelasan itu sangat dibutuhkan. Bisa kita lakukan sebelum atau sesudahnya. Kenapa ini diperlukan? Jika hukuman itu kita maksudkan untuk perubahan ke arah yang lebih baik, tentunya butuh juga pengetahuan baru, pemahaman baru, atau masukan baru. Bisa juga dilakukan dengan menggunakan story-telling: kita menceritakan riwayat hidup kita atau riwayat hidup orang lain yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita sampaikan. Kalau kita tidak bisa menyampaikannya dengan baik, kita bisa meminta tolong ke pihak ketiga. Bisa juga kita mengikutsertakannya ke program training di luar untuk persoalan-persoalan yang relevan.
Kelima, jangan parsial. Ini agar tidak terjadi praktek hukum untuk menghukum demi egoisme pribadi, seperti yang terjadi pada sebuah perguruan tinggi yang banyak dibicarakan orang. Artinya, hukuman itu perlu kita sejalankan dengan semangat, nafas, dan tujuan-tujuan organisasi.
Keenam, tunjukkan nilai-nilai yang perlu diacu, bukan unjuk-diri. Kalau yang kita unggulkan itu ego pribadi, biasanya yang muncul adalah konflik. Tapi kalau nilai, biasanya yang akan muncul adalah kesadaran. Unjuk diri itu misalnya kita mengatakan bahwa tindakan si A itu kita hukum karena tindakan itu adalah tindakan yang paling tidak kita sukai. Di sini yang muncul adalah saya suka atau saya benci. Padahal kita bisa mengatakan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai tertentu.
Ketujuh, kendalikan emosi. Bisa jadi kesalahan orang lain itu sempat membikin kita marah. Tetapi, ketika kita menghukum untuk tujuan perbaikan, jangan sampai menghukum dalam keadaan marah yang berlebihan, apalagi sampai menyinggung masalah pribadi. Ini bisa membuka perdebatan yang tidak ada solusinya. Mengontrol emosi artinya kita mengetahui kapan marah, kenapa marah, untuk apa marah, dan kapan menghentikan marah.
Itulah beberapa saran yang bisa kita pilih sebagai acuan. Sisanya perlu kita sesuaikan dengan keadaan di lapangan. Satu hal lagi yang penting adalah jangan sampai salah sasaran. Makanya ada petuah yang mengajarkan bahwa lebih baik kita tidak menghukum orang yang salah karena keteledoran kita ketimbang kita menghukum orang yang tidak salah karena kegagabahan kita.
"Hukuman yang paling berat adalah kesadaran seseorang atas perbuatannya"
(Seneca)

Source : http://www.e-psikologi.com/epsi/industri_detail.asp?id=514

Bukan merupakan hal yang mudah menemukan karyawan bertalenta (talent people) di perusahaan. Banyak organisasi atau bagian SDM menggunakan alat assesment tools / psychometric / talent questionnaire dan berbagai macam lainnya untuk menilai karyawan yang memiliki talenta.  Tanpa bermaksud meremehkan, terkadang jika menggunakan teknik assessment yang tidak disosialisasikan dengan benar, dapat menimbulkan respons kurang baik dari karyawan.
Ada cara yang lebih efektif dibandingkan yang sudah dikemukakan diatas. Anda bisa mengamati, memperhatikan dan melihat sikap dan perilaku karyawan. Tentunya, jangan lupa melihat impact dari sikap dan perilaku karyawan tersebut. Disini kita akan mencoba mengenal bagaimana membedakan karyawan yang bertalenta (talent-people)dengan karyawan berpengetahuan (knowledge-worker).
  1. Karyawan bertalenta membuat dan merumuskan aturan (breaking the rule) sedangkan karyawan berpengetahuan menegakkan aturan. Karyawan dengan talenta tinggi tidak segan-segan untuk membuat dan merumuskan aturan yang mampu meningkatkan kinerja. Hambatan struktur, proses maupun prosedur, menggugah karyawan bertalenta untuk mengubah aturan agar dapat meraih sasaran yang diinginkan. Ketika Edward Deming pada tahun 1950 an mengajak perusahaan amerika untuk memperhatikan aspek manajemen kualitas, tidak ada satupun yang tergugah, karena masih fokus pada aspek produktifitas. Namun perusahaan jepang melihat manfaat nyata dari apa yang ditawarkan Deming, dan memberi kesempatan Deming di jepang untuk menerapkannya. Walhasil, di tahun 1970 an, kualitas produk jepang sudah menyamai kualitas produk barat bahkan dengan harga lebih kompetitif. Sampai dengan tahun 1980 an, barulah perusahaan-perusahaan amerika tersadar sehingga mereka pun mendengarkan saran Deming. Edward Deming adalah contoh terbaik talent people  tangguh untuk merubah aturan yang sudah ‘pakem’ di kalangan industriawan.
  2. Karyawan bertalenta memulai dan membuat perubahan, sedangkan karyawan berpengetahuan mendukung perubahan. 
  3. Karyawan bertalenta menciptakan kreatifitas, sedangkan karyawan berpengetahuan menjalankan kreatifitas. Karyawan talenta seringkali menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya didalam unit atau organisasinya. Mereka memberikan data, saran dan kreatif membentuk hal baru yang penting dan mengubah ke arah yang lebih baik.
  4. Karyawan bertalenta menciptakan inovasi, sedangkan karyawan berpengetahuan senang belajar. Steve Jobs, pendiri dan CEO Apple yang pernah dipecat Apple lalu mendirikan perusahaan Pixar (pembuat film kartun Finding Nemo), kemudian ditarik kembali CEO Apple, merupakan orang yang tidak putus menciptakan inovasi. Bahkan, pengetahuannya dalam digital entertainment semasa di luar Apple, membawanya untuk menciptakan inovasi produk (Mac, iPod, iTunes, iPhone , etc) yang mengangkat Apple ke masa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tak heran, pria yang senang berpakaian casual ini dijuluki “the most influential business leader” oleh USA today.
  5. Karyawan bertalenta mengarahkan karyawan, sedangkan karyawan berpengetahuan menerima arahan.
  6. Karyawan bertalenta memberi inspirasi dan memotivasi karyawan, sedangkan karywan berpengetahuan menerima informasi.
Jika dalam pengamatan anda menemukan ciri-ciri karyawan seperti diatas, maka mungkin anda sedang melihat ‘berlian’ yang belum terasah di tempat anda. Anda dapat mengasahnya menjadi berlian yang berkilau melalui penciptaan sistem, lingkungan, sasaran kerja dan budaya yang tepat.

Source : http://ilmusdm.wordpress.com/2007/12/07/mengenal-ciri-ciri-karyawan-bertalenta-talent-people/

Dunia penyiaran Indonesia, khususnya pertelevisian, mengalami perkembangan pesat sejak tahun 1990-an. Perkembangan industri penyiaran tersebut, juga diiringi dengan tuntutan akan tersedianya sumber daya manusia yang andal di bidangnya. Untuk menciptakan tenaga-tenaga andal dan profesional di dunia penyiaran, maka selayaknya ilmu broadcasting atau penyiaran senantiasa diperbaharui dari waktu ke waktu dan juga diperlukan wahana praktek bagi para peminat dunia penyiaran tersebut.
Setelah sukses dengan Broadcaster Award # 1 (BA 1) tahun 2009 lalu, tahun ini pun IKOM Radio 107,7 FM yang bernaung di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali menggelar ajang yang sama, yaitu Broadcaster Award # 2 pada 29 April hingga 1 Mei 2010 mendatang. Menurut Budi Artha, Ketua Panitia Penyelenggara, BA adalah sebuah kompetisi bagi para broadcaster atau penyiar yang masih berstatus sebagai pelajar SMA sederajat untuk menjawab kebutuhan akan sarana pengembangan diri bagi calon-calon broadcaster masa depan.
Selain itu, kegiatan ini diadakan untuk mengenalkan lebih jauh tentang dunia penyiaran ke[ada para pelajar, sekaligus untuk mencari bibit-bibit unggul tenaga profesional. BA # 2 ini diselenggarakan sebagai ajang adu bakat para broadcaster muda melalui lima kategori perlombaan, yaitu penyiar radio, news reader atau pembaca berita, reporter, penulisan naskah ILM (iklan layanan masyarakat), dan presenter infotainmen.
“Untuk tahun ini, BA bertemakan “Explore Your Creativity, Mencerminkan Pencapaian Dunia Komunikasi yang Unik, Asyik, dan Penuh Kreatifitas” yang merupakan cerminan dari tagline atau slogan Ikom Radio sendiri. Tahun ini, cakupan peserta meluas ke area Jawa Tengah, berbeda dari penyelenggaraan BA 1 yang hanya diikuti oleh peserta dari DIY saja,” tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY ini.
Kompetisi yang berhadiah total 4 juta rupiah ini terbuka untuk diikuti oleh semua siswa SMA sederajat. Pendaftaran peserta langsung ke IKOM Radio 107,7 FM di Gedung Ki Bagus Hadikusumo lantai 2 FISIPOL UMY, Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul 55183 sampai 27 April 2010. Informasi lengkap dan formulir pendaftaran bisa didapatkan di www.ikomradio.blogspot.com.
Acara yang akan berlangsung selama tiga hari ini seluruhnya diadakan di Kampus Terpadu UMY. Pada hari pertama, semua peserta akan dibekali dengan workshop dan beauty class sebagai modal awal sebagai seorang broadcaster. Lalu di hari kedua, para peserta akan berkompetisi sesuai kategorinya, dan di hari ketiga para finalis akan diadu untuk menentukan siapa yang terbaik. BA # 2 ini juga akan dimeriahkan oleh penampilan live band. “Diharapkan dengan adanya ajang semacam ini, di masa depan akan lahir penyiar, presenter, penuiis naskah, dan tenaga-tenaga dunia penyiaran lain yang benar-benar andal dan profesional,” ujar Budi.

Source : http://www.umy.ac.id/dunia-penyiaran-butuh-tenaga-andal-dan-profesional.html

Hobi yang Jadi Profesi
Juru masak atau Koki (chef) kini tak lagi didominasi wanita. Kaum pria pun banyak memilih profesi yang berurusan dengan dapur itu. Bila ditekuni dan dijalani secara profesional, koki bisa menjadi pilihan pekerjaan yang menjanjikan.
Sekecil apapun hobi, asalkan ditekuni dengan serius akan bermanfaat. Salah satunya memasak. Dulu mungkin kita sedikit tabu melihat pria memasak. Karena, memang, pekerjaan dapur itu lebih identik dengan wanita. Tapi, sekarang sudah tidak heran lagi melihat pria menjadi juru masak atau koki.
Bahkan, di hotel-hotel berbintang dan restaurant, sebagian besar kokinya adalah kaum adam.  Di Hotel Abadi Suite Kota Jambi misalnya. Semua koki di hotel bintang lima ini adalah pria. Salah satunya Chef Rudi  Rustandi.
Pria kelahiran Bandung ini sudah menggeluti dunia memasak selama 19 tahun. “Sejak tamat sekolah perhotelan tahun 1990,”ujarnya saat ditemui Jambi Independent di Abadi Suite, Kamis (23/7).
Ia sendiri awalnya tidak pernah bermimipi bakal menggeluti profesi koki. Namun, setelah 19 tahun menjadi koki, profesinya kini tidak lagi menjadi sekedar hobi, tapi sudah menjadi pekerjaaan rutinitas. Hampir separuh waktunya dihabiskan di dapur. “Karena sudah hobi, jadi menyenangkan,”kata ayah dua anak ini.
Karena profesinya ini pula, Rudi bisa keliling Kota atau daerah di Indonesia dan luar negeri.  Sebelum di Jambi (Abadi Suite,Red), dia pernah bekerja di beberapa daerah di Indonesia. Ia juga pernah menjadi koki di Brunei Darussalam. Makanya, ia sangat mahir dengan menu Asean.
Tak jauh berbeda dengan Rudi, M Subhan, Demichef Hotel Novotel Jambi juga mengaku sangat menyukai pekerjaannya. Ia sendiri mengaku tidak memiliki pendidikan khusus soal memasak. Namun, bekerja di dapur hotel banyak memberinya pelajaran memasak. “Saya bekerja di Novotel sejak tahun 1996. Awalnya di dapur saja,”ujarnya saat ditemui di Hotel Novotel, Kamis (23/7).
Lantaran sudah hobi, Subhan cepat beradaptasi dan belajar dari chef yang sudah berpengalaman yang didatangkan dari Jakarta.  Berkat keuletan dan ketekunannya, Ia pun didaulat jadi demichef sejah tahun 1998 hingga sekarang. “Awalnya diperhatikan saja, dicatat. Kalau sekarang sudah mencoba bermodifikasi,”ujarnya.
Pria lain yang memilih profesi koki adalah Dodi Taufik. Menurut Chef  Ratu Hotel ini, menjadi seorang koki tidak harus berlatar pendidikan boga atau memasak. Kebanyakan pria menekuni profesi itu karena pengalaman dan kesukaannya (hobi) terhadap dunia masak memasak.
Dodi sendiri memilih menjadi koki karena kesukaannya terhadap dunia kuliner. ‘’Pada umumnya mereka yang berprofesi sebagai chef itu suka memasak,’’ katanya.
"Sesuatu yang kita sukai, pasti akan kita kerjakan dengan ilklas. Rahasia memasak adalah keiklasan. Kenapa masakan ibu kita enak ? Itu karena keiklasannya saat memasak. Kalau seseorang masak dengan perasaan dongkol pasti masakaannya tidak enak,’’ jelas pria yang sudah 14 tahun bekerja sebagai koki ini.
Seperti tiga koleganya, Komi Yufran, kepala koki di Grand Hotel juga mengaku alasan  utama menjadi seorang koki adalah karena hobi dan kesukaan terhadap dunia kuliner. Dia juga bukan berlatar belakang pendidikan jurusan boga atau memasak. Dia mengaku pernah kuliah di salah satu  institut seni di Yogyakarta.
Lalu apa yang membuat dirinya betah menjadi koki ? ‘’ Pekerjaan yang baik itu adalah pekerjaan yang kita senangi,’’ ujar bapak satu anak ini. Bagi chef Komi, memasak bukan hannya bekerja, tapi juga meyalurkan hobi. Apalagi masakan yang ada di Indonesia ini sangat banyak. Setipa hari selalu ada menu-menu baru, sehingga dituntut untuk selalu belajar. “Masakan itu tak pernah habisnya, selalu aja ada yang baru, itu nyang membuat saya senang,” jelasnya. (nid/wra)

Source :http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=2124:pria-pria-yang-menjadi-koki-profesional&catid=16:keluarga&Itemid=19