Alice in Wonderland is an upcoming fantasy-adventure film directed by Tim Burton. It is an extension to the Lewis Carroll novels Alice’s Adventures in Wonderland and Through the Looking-Glass. The film will use a [...]

Jennifer’s Body is a 2009 black comedy horror film written by Diablo Cody and directed by Karyn Kusama. The film stars Megan Fox, Amanda Seyfried, Adam Brody and Johnny Simmons and portrays a newly [...]

Sherlock Holmes is a 2009 film adaptation of Arthur Conan Doyle’s fictional character of the same name. The film was directed by Guy Ritchie and produced by Joel Silver, Lionel Wigram, Susan [...]

The Imaginarium of Doctor Parnassus is a 2009 fantasy film directed by Terry Gilliam and written by Gilliam and Charles McKeown. The film follows the leader of a travelling theatre troupe who, having made a deal [...]

Alice in Wonderland Movie Poster Megan Fox in Jennifer’s Body Sherlock Holmes Nominated for Golden Globe The Imaginarium of Doctor Parnassus

My Action

成功を期待!Seikō o kitai!

Hukuman dan Pengembangan Karyawan

Tugas Struktural & Kultural
Tradisi yang umum berlaku di tempat kerja kerap kali mewajibkan kita untuk menjadi pengembang (developing others). Jika tugas ini tidak diberikan secara struktural, ia diberikan secara kultural. Pokoknya, semakin lama kita bekerja di suatu tempat, secara otomatis kita pasti punya tanggung jawab sebagai pengembang. Lebih-lebih jika jabatan kita naik, misalnya dari staff biasa ke supervisor lalu ke manajer.
Sebuah lembaga konsultan ternama di Jakarta mencoba mengkelompokkan sejumlah kemampuan (kompetensi) yang perlu dimiliki oleh seorang pekerja, dari mulai level bawahan (kayawan biasa) sampai ke level atasan (supervisor dan manajerial). Hasilnya bisa Anda lihat di bawah ini:
Kompetensi Tingkat Karyawan
(Bawahan)
Kompetensi Tingkat Atasan
(Supervisor & Manajer)
Mencari informasi & belajar
Fleksibilitas
Fleksibilitas
Skill  manajerial, profesional dan teknikal
Pelayanan pelanggan
Perhatian terhadap tugas
Teamwork
Interpersonal
Motivasi yang bagus
Teamwork
Membangun relasi
Mengembangkan orang lain
Mengontrol emosi (self-control)
Komitmen organisasi
Jika disimpulkan, tugas kita pertama kali adalah mengembangkan diri sendiri dengan fasilitas dan resource yang bisa kita gunakan. Setelah hasilnya terbukti, barulah kita punya tugas untuk mengembangkan orang lain. Jika kita kurang bagus menjalankan tugas yang pertama, akibatnya kita pun tidak bisa menjalankan tugas kedua dengan bagus. Memang, pengembangan orang lain itu ada ruang lingkupnya, tergantung kemampuan. Ada yang hanya bisa mengembangkan untuk sedikit orang (individu) dan ada yang sudah sanggup mengembangkan banyak orang (kelompok).
Dalam konsep pengembangan kompetensi, mengembangkan orang lain itu termasuk kompetensi. Dikatakan kompetensi, berarti bukan watak bawaan, melainkan sebuah kualitas di dalam diri yang baru sebagai hasil dari bentukan atau usaha. Artinya, tidak terlalu tepat kalau jabatan kita naik atau peranan kita mulai diakui, namun kita berkesimpulan tidak punya bakat atau bawaan untuk mengembangkan orang lain. Punya atau tidak punya, ini perlu kita lakukan dan perlu kita pelajari.
Secara kompetensi ditemukan ada beberapa ciri khas yang menandai apakah seseorang itu punya kompetensi bagus di sini atau tidak. Sebagai acuan, Anda bisa melihat seperti apa ciri-ciri orang yang punya kompetensi bagus di sini di bawah ini:
  1. Mengekspresikan harapan positif atas orang-orang yang dikembangkan
  2. Punya model keyakinan dan penilaian bahwa orang-orang yang dikembangkannya memiliki motivasi dan kemauan untuk belajar
  3. Memberikan arahan atau mendemontrasikan alasan-alasan rasional sebagai strategi pengembangan
  4. Memberikan feedback negatif hanya pada tindakan, bukan pada orangnya, lalu memberikan arahan untuk menampilkan kinerja yang lebih bagus di masa mendatang (koreksi dan improvisasi)
  5. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan atau training berdasarkan penilaian yang akurat untuk mewujudkan proses pengembangan yang lebih klop antara kebutuhan, kemampuan, dan keadaan
Sebaliknya, seseorang yang belum bagus kompetensinya di sini mungkin akan lebih sering mengekspresikan harapan negatif (misalnya pesimis tarhadap perkembangan orang lain), suka bikin kesimpulan yang mematikan atau selalu menuding 'muridnya' sebagai sumber masalah, atau kurang peduli apakah metode dan materinya cocok atau tidak. Mungkin sering juga ngambek sama orangnya dan tidak memberikan pengarahan untuk bisa lebih baik.
"Yang kurang dari manusia itu bukan kapasitasnya, melainkan bimbingannya"
(Jim Rohn)

Hukuman Dalam Pengembangan

Apa hubungan antara pengembangan dan hukuman? Pengembangan di dunia kerja itu bermacam-macam: ada yang untuk mengembangkan kapasitas mental, moral, dan keahlian kerja. Secara suara hati, semua orang sebetulnya sangat senang mendapatkan sentuhan-sentuhan pengembangan dari orang lain (atasannya). Tetapi, karena di dalam diri setiap orang itu ada nafsunya, kepentingan-pribadinya, dan level kesadaran yang tidak sama, makanya mungkin saja proses pengembangan itu tidak terjadi seperti yang diharapkan. Bisa juga penyimpangan itu muncul dari si pengembangnya.
Ketika penyimpangan itu muncul, ada sebagian orang yang senang melirik cara pengembangan dengan memberikan hukuman. Dari yang umum diterapkan di dunia kerja, hukumannya itu ada yang administratif dan ada yang mental. Contoh hukuman adminsitratif itu misalnya pemotongan gaji, pembatalan kenaikan jabatan, dan sampai pemecatan. Sedangkan hukuman mental itu banyak macamnya, misalnya saja: de-jobbing, distrust, penugasan yang berlebihan, dan lain-lain.
Kalau kita lihat ke prakteknya, hukum-menghukum di dunia kerja itu relatif kurang menonjol dibanding dengan misalnya di dunia pendidikan atau keluarga. Ini karena di setiap kantor itu sudah punya peraturan tak tertulis yang kira-kira bunyinya adalah: "Anak-anak tidak boleh bekerja di kantor". Kenapa relevansinya ke anak-anak? Oh ya. Secara kesadaran, hukuman itu hanya pas diberlakukan kepada orang yang motif kesadarannya masih didominasi oleh ancaman faktor eksternal.
Jika kita hari ini sedang diberi tanggung jawab untuk mengembangkan bawahan, sah-sah saja hukuman itu kita terapkan sejauh memang ada alasan yang cukup kuat. Cuma, apapun alasannya, hukuman itu harus kita pahami bukan sebagai tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Jadi, kita perlu menghindari keinginan menghukum, tetapi tujuannya hanya untuk menghukum (sebagai balas dendan, sentimen pribadi, pelampiasan kejengkelan, dst). Karena itu, sebelum hukuman itu diberlakukan, tujuannya harus kita clear-kan dulu. Setelah tujuan clear, barulah kita bisa berpikir apakah cara demikian ini cocok atau tidak. Sekedar sebagai acuan untuk meng-clear-kan tujuan itu, kita bisa mengacu ke pilihan-pilihan di bawah ini:
  • Hukuman untuk memenuhi standar / target
  • Hukuman untuk menaikkan kesadaran moral atau mental
  • Hukuman untuk meluruskan penyimpangan
  • Hukuman untuk menghentikan pelanggaran
  • Hukuman untuk melakukan perbaikan
  • Hukuman untuk melakukan pencegahan
  • Hukuman untuk memberikan pelajaran bagi orang lain
  • Dan lain-lain
Intinya, tujuan itu bisa berupa set of conduct (seperangkat tindakan perbaikan yang harus dilakukan) atau set of result (seperangkat target atau sasaran yang harus dihasilkan). Idealnya, tujuan itu perlu kita desain supaya lebih spesifik dalam arti jelas sasarannya. Kemudian juga perlu diusahakan rasional dalam arti bisa dijalankan, dan membawa perbaikan, entah itu untuk jangka pendek atau jangka panjang, entah itu untuk dirinya saja atau untuk dirinya dan orang banyak.
Dalam beberapa kasus yang kerap muncul di lapangan, ada sebagian orang yang menggunakan teknik de-jobbing untuk menghukum. Misalnya saja kita membiarkan si A itu masuk kerja biasa, tetap menerima gaji bulanan dan hak-haknya sebagai karyawan, tetapi kita tidak memberikan pekerjaan, bimbingan, teguran, atau tugas yang semestinya. Sebagian orang merasakan ini termasuk hukuman mental yang berat, tetapi ada juga yang tidak merasakan seperti itu.
Efektifkan de-jobbing yang kita praktekkan seperti itu? Ini tergantung. Tetapi, secara akal-dasar, praktek demikian telah merugikan organisasi karena harus tetap mengeluarkan cost. Kemudian, jika orangnya tidak bisa menangkap tujuannya, ini juga akan menjadi problem tersendiri. Si orang itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang hindari. Dipikir-pikir kita sendiri juga rugi. Kenapa? Karena dengan menerapkan cara seperti itu, kita menyembunyikan catatan hitam tentang seseorang. Secara perasaan, ini bisa membuat kita tidak bisa "flow". Karena itu ada yang mengatakan bahwa teknik semacam itu kurang 'gentle'. Lain soal kalau tujuannya sudah dipahami dan itu kita terapkan untuk masa tertentu, untuk menguji efek tertentu, dan kita tidak terbawa larut / tetap bisa objektif.
"Punish the response, not the people.
People are rewarded and responses are reinforced"
(Psychology & Life, 1979)

Panduan Umum Dalam Menerapkan Hukuman
Kalau membaca nasehat beberapa ahli, di bawah ini adalah sebagian dari sekian panduan yang bisa kita ikuti:
Pertama, sesuaikan dengan orangnya. Ada orang yang cocoknya memang perlu dihukum dengan tegas dan keras tetapi ada yang tidak. Kitalah yang perlu tahu siapa dia. Bahkan terkadang perlu melihat kondisinya saat itu juga. Bisa dibayangkan kalau ada seseorang yang sedang stress berat memikirkan masalah keluarganya, tetapi di kantor dia mendapatkan hukuman yang berat. Kalau dia agresif, dia akan melawan atau temparemennya muncul. Sebaliknya, kalau dia pasif, dia akan down.
Kedua, sesuaikan dengan bobot kesalahanya. "Jangan mengusir lalat dengan pistol". Ini filosofi dasarnya. Artinya adalah, jangan memberi hukuman berat untuk masalah kecil. Sebaliknya juga begitu. Jangan memberi hukuman kecil untuk masalah besar. Intinya perlu diproporsionalkan. Yang perlu kita hindari adalah pilih kasih untuk alasan-alasan yang sangat subyektif. Misalnya saja kita tidak menghukum seseorang yang mestinya pantas dihukum atau memberi hukuman ke orang yang belum pantas diberi hukuman seberat itu. Ini bisa menimbulkan demotivasi kerja atau menurunkan loyalitas orang-orang yang loyal.
Ketiga, spesifikkan. Ini untuk menghindari subyektivitas pribadi atau sentimen. Beri hukuman yang spesifik untuk respon atau tindakan yang spesifik dan dalam waktu yang spesifik. Lain soal kalau kasusnya atau kesalahannya sudah tidak bisa ditolerir lagi berdasarkan nilai-nilai yang dianut organisasi. Penjelasan soal waktu tidak diperlukan lagi. Manfaatnya adalah, jika hukuman itu clear sebab-sebabnya, kapannya, dan bentuknya, maka ini memudahkan orang lain untuk menjadikannya sebagai pedoman. Ini juga bisa memudahkan kita. Dengan standar yang jelas, pengawasan bisa kita delegasikan. Tapi kalau standarnya itu mood sesaat, kita harus menjadi polisi setiap saat.
Keempat, ikuti dengan penjelasan. Memberi penjelasan itu sangat dibutuhkan. Bisa kita lakukan sebelum atau sesudahnya. Kenapa ini diperlukan? Jika hukuman itu kita maksudkan untuk perubahan ke arah yang lebih baik, tentunya butuh juga pengetahuan baru, pemahaman baru, atau masukan baru. Bisa juga dilakukan dengan menggunakan story-telling: kita menceritakan riwayat hidup kita atau riwayat hidup orang lain yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita sampaikan. Kalau kita tidak bisa menyampaikannya dengan baik, kita bisa meminta tolong ke pihak ketiga. Bisa juga kita mengikutsertakannya ke program training di luar untuk persoalan-persoalan yang relevan.
Kelima, jangan parsial. Ini agar tidak terjadi praktek hukum untuk menghukum demi egoisme pribadi, seperti yang terjadi pada sebuah perguruan tinggi yang banyak dibicarakan orang. Artinya, hukuman itu perlu kita sejalankan dengan semangat, nafas, dan tujuan-tujuan organisasi.
Keenam, tunjukkan nilai-nilai yang perlu diacu, bukan unjuk-diri. Kalau yang kita unggulkan itu ego pribadi, biasanya yang muncul adalah konflik. Tapi kalau nilai, biasanya yang akan muncul adalah kesadaran. Unjuk diri itu misalnya kita mengatakan bahwa tindakan si A itu kita hukum karena tindakan itu adalah tindakan yang paling tidak kita sukai. Di sini yang muncul adalah saya suka atau saya benci. Padahal kita bisa mengatakan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai tertentu.
Ketujuh, kendalikan emosi. Bisa jadi kesalahan orang lain itu sempat membikin kita marah. Tetapi, ketika kita menghukum untuk tujuan perbaikan, jangan sampai menghukum dalam keadaan marah yang berlebihan, apalagi sampai menyinggung masalah pribadi. Ini bisa membuka perdebatan yang tidak ada solusinya. Mengontrol emosi artinya kita mengetahui kapan marah, kenapa marah, untuk apa marah, dan kapan menghentikan marah.
Itulah beberapa saran yang bisa kita pilih sebagai acuan. Sisanya perlu kita sesuaikan dengan keadaan di lapangan. Satu hal lagi yang penting adalah jangan sampai salah sasaran. Makanya ada petuah yang mengajarkan bahwa lebih baik kita tidak menghukum orang yang salah karena keteledoran kita ketimbang kita menghukum orang yang tidak salah karena kegagabahan kita.
"Hukuman yang paling berat adalah kesadaran seseorang atas perbuatannya"
(Seneca)

Source : http://www.e-psikologi.com/epsi/industri_detail.asp?id=514

Share this post:

Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

0 komentar:

Posting Komentar